Kesungguhan Salaf dan Ulama Menghindari Makan Haram
Kesungguhan Salaf dan Ulama Menghindari Makan Haram
Seperti biasanya, Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu ’Anhu menyuruh
budak laki-lakinya, mengambil uang upah untuk beliau. Saat itu, si
budak usai mengambil upah dan Abu Bakar menggunakannya untuk membeli
makanan. Setelah semuanya dihabiskan, tak lama kemudian, si budak
mengakan,”Anda tahu, apa yang telah Anda makan?” Abu Bakar
menjawab,”Apa?”. Si budak mengatakan,”Di masa jahiliyah saya telah
melakukan ramalan untuk seseorang, akan tetapi saya menipunya, dan ia
mendatangiku dengan memberi sesuatu, yakni barang yang telah Anda makan
itu. Mendengar ucapan si budak, Abu Bakar segera memasukkan jarinya ke
kerongkongan, hingga beliau memuntahkan seluruh isi perutnya.
Sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Bab Al Manaqib, Abu Bakar
mengatakan,”Celakalah engkau! Hampir saja engkau mencelakakanku! Aku
takut kalau dagingku tumbuh karena harta haram ini. Bagaimana bisa aku
melakukan hal itu, sedangkan aku telah mendengarkan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) bersabda,”Sesungguhnya daging tidak
akan tumbuh dari harta haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.”
Bahkan, dari riwayat lain yang dibawakan Abu Nuaim disebutkan, bahwa
Abu Bakar mengatakan, ”Kalau seandainya tidak keluar (makanan haram
itu), kecuali bersama nyawaku, niscaya akan aku tetap mengeluarkannya.”
Diriwayatkan juga, bahwa Umar bin Al Khathab melakukan hal serupa
dengan apa yang telah dilakukan Abu Bakar. Sebagaimana disebutkan Al
Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman, bahwa beliau meminum segelas susu, hingga
beliau merasa takjub dengan rasanya, hingga beliau bertanya kepada si
pemberi, dari mana ia memperoleh susu itu. Ia menjawab bahwa susu itu
diambil dari onta sedekah. Setelah mengetahui demikian, Umar segera
memasukkan jarinya ke dalam kerungkongan, supaya apa yang telah
ditelannya termuntahkan.
Demikianlah, para sahabat, yang mendapatkan pendidikan langsung dari
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam (SAW). Mereka memahami, bagaimana
bahayanya barang haram untuk dikonsumsi, hingga ketika makanan haram
terlanjur masuk ke dalam perut, mereka berusaha untuk mengeluarkannya,
walau resikonya adalah kematian!
Rasulullah sendiri, sebagai suri tauladan seluruh umat juga telah
memberi contoh, betapa beliau sangat menjaga dari memakan makanan
haram. Dalam sebuah hadits dijelaskan, bahwa Rasullah pernah
bersabda,“Saat aku pulang ke rumah, kutemui sebutir korma jatuh di atas
tempat tidur. Aku memungutnya, dan hendak memakannya. Akan tetapi, aku
takut kalau itu adalah korma sedekah, hingga akhirnya, aku
melemparnya.” (Riwayat Al Bukhari).
Tabi’in: Makan Tanah Lebih Baik daripada Makanan Haram!
Di masa tabi’in, ada salah seorang yang selalu menjaga dirinya dari
makanan haram, beliau tidak lain adalah Fudhail bin Iyadh. Karena
sangat takutnya memakan barang haram, Bishr Al Hafi, seorang syeikh
zuhud menyebutnya, bahwa bagi tabi’in ini makan tanah lebih baik
daripada memasukkan barang haram dalam perutnya, sebagaima disebut Ibnu
Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib (8/296).
Tidak hanya menghindari barang haram, terhadap barang yang subhat pun
para salaf menjaga diri. Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari (1/191)
menyebutkan bahwa tabi’in Ibrahim bin Adham memilih hidup dalam
kelaparan, dengan mengembalikan upah yang telah beliau peroleh, karena
beliau ragu apakah telah menunaikan amanah (pekerjaan) yang dipikulkan
kepadanya atau tidak.
Pesan Kepada para Pencari Rezeki
Para istri yang hidup di tiga zaman (sahabat, tabi’in dan atba’
tabi’in) mempunyai tradisi tersendiri, jika para suami mereka hendak
keluar mencari rezeki, dengan mengucapkan,”Takutlah kepada Allah
terhadap kami dan janganlah memberi makan kami dari barang haram,
sesungguhnya kami masih bisa sabar terhadap kelaparan, akan tetapi kami
tidak akan tahan terhadap siksa neraka.” Sebagaimana disebutkan Al
Ghazali dalam Al Ihya, di akhir Bab Nikah.
Ibnu Sirin, seorang tabi’in senior, jika melepas kepergian seseorang
dia mengatakan, “Takutlah kepada Allah, dan carilah rezeki halal yang
telah ditetapkan kepadamu. Jika engkau mengambilnya dari sesuatu yang
haram, maka itu tidak akan menambah jumlah rezeki yang telah ditetapkan
Allah kepadamu.” Segaimana disebutkan dalam At Thabaqat Al Kubra
(7/201).
Para Ulama Mengikuti Jejak Generasi Terdahulu (Salaf)
Demikian, para generasi awal dalam membentengi diri dari bahan dan
makanan haram. Para ulama dan orang-orang shalih generasi setelahnya
pun mengikuti jejak mereka.
Adalah Al Muhasibi, ulama zuhud yang wafat pada tahun 243 H, yang sejak
kecil sudah menjaga agar jangan sampai makanan haram atau subhat masuk
ke dalam perutnya. Disebutkan dalam Al Anba Nujaba’ Al Abna (hal.148)
ulama yang memiliki nama panjang Abu Abdullah Al Harits bin Asad Al
Muhasibi Al Bashri ini, pada waktu masih berusia kanak-kanak pernah
berjalan melalaui sekelompok anak-anak yang sedang bermain di depan
pintu penjual kurma, ia perhatikan anak-anak itu bermain. Tidak lama
kemudian, pemilik rumah keluar dengan membawa beberapa butir kurma,
dangan mengatakan kepada Harits,”Makanlah kurma ini.”
Harits tidak langsung mengiyakan, akan tetapi ia malah bertanya, ”Dari
mana asal kurma ini?”. Si penjual kurma menjawab,” Aku baru saja
menjualnya kepada seseorang, lalu berjatuhanlah kurma yang telah ia
beli.” Harits kembali bertanya,”Apakah engkau mengetahuinya?” Si
penjual itu kembali menjawab,”Iya.”
Setelah mendengar jawaban itu, Harits segera pergi menuju sekumpulan
anak-anak yang sedang bermain, dan bertanya,”Apakah orang ini Muslim?”
Mereka menjawab,”Iya.” Memperoleh jawaban demikian, Harits pergi
menjauh meninggalkan si pembeli itu.
Si penjual kurma mengikutinya, sampai akhirnya ia menahan
Harits.”Jangan pergi, sebelum engkau menjelaskan, kenapa engkau berbuat
demikian?” Harits menjawab, “Wahai syeikh, carilah pembeli kurma tadi,
dan serahkan barang yang telah ia beli, sebagaimana engkau membutuhkan
air, di saat engkau menderita kehausan yang amat sangat. Wahai syeikh,
anda telah memberi makan kepada anak-anak Muslim dengan barang haram,
padahal engkau Muslim?!” Si penjual akhirnya mengatakan,”Demi Allah,
aku tidak akan berdagang hanya untuk mencari dunia selamanya.”
Adapula ulama Madzhab Hambali yang bernama Ibnu Hamid Al Waraq. Waktu
melakukan perjalanan haji tahun 402 hijriah, beliau kehabisan
perbekalan di tengah perjalanan. Tidak ada makanan dan minuman yang
tersisa, hingga beliau tak mampu melakukan perjalanan, dan terjatuh.
Seorang laki-laki mendatangi beliau dengan membawa sedikit air, dan
beliau saat itu hanya bisa bersandar pada sebuah batu dalam keadaan
hampir “sekarat”.
Ibnu Hamid, dalam keadaan yang amat payah bertanya kepada si pembawa
air, “Dari mana air itu diperoleh? Dan bagaimana cara mendapatkannya?”
Si pembawa air terkejut, dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini
engkau masih bertanya masalah itu?” Akhirnya ulama yang sudah sepuh itu
mengatakan,”Justru inilah waktunya, saat bertemu kepada Allah, saya
memerlukan jawaban, dimana ia berasal?”
Akhirnya, Ibnu Hamid Al Warraq wafat saat beliau pulang dari haji tahun
403 hijriah, satu tahun setelah peristiwa tersebut. Kisah ini
disebutkan dalam Thabaqat Al Hanabilah (2/177), oleh Qadhi Ibnu Abi
Ya’la.
Al Qasthalani, Irsyad As Sari (1/191) juga menyebutkan kisah mengenai
Sayidah Badi’ah Al Ijiyah, yang hidup di masa beliau (abad ke 10
hijriah) yang tinggal di Makkah. Saat itu, sudah 30 tahun beliau
menghindari makan buah-buahan dan daging yang berasal dari wilayah
Bajilah, karena mendengar kabar bahwa penduduk wilayah itu tidak
memberikan warisan kepada anak-anak perempuan. Beliau takut,
jangan-jangan hewan dan buah-buahan itu termasuk hak para anak
perempuan, yang tidak diberikan. Dikabarkan juga, bahwa ayah beliau
Nuruddin tidak memakan buah-buahan yang dihasilkan oleh kebun-kebun di
Madinah, setelah mendapat kabar bahwa para pemiliknya enggan
mengeluarkan zakat bagi kebun-kebun mereka.
Disbutkan dalam Tarikh Baghdad (5/15) bahwa saat itu, Muhammad bin
Sa’id, seorang ulama zuhud yang memiliki julukan Uqdah. Saat itu
beberapa dinar jatuh dari ulama ini persis di gerbang rumah Abu Dar Al
Khazzar. Untuk mencarinya, beliau mengajak seoarang pengayak tepung.
Akhirnya, beliau menemukannya, akan tetapi saat itu hatinya
berkata,”Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?”. Hingga akhirnya
Uqdah meninggalkannya dan berkata kepada si pengayak,”Itu adalah
tanggunganmu.”
Imam An Nawawi menyebutkan dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (2/173)
mengenai kahati-hatian Imam As Syairazi, yang hidup miskin dan papa.
Suatu saat beliau singgah di sebuah masjid untuk memakan sesuatu. Akan
tetapi setelah meninggalkan masjid, beliau teringat bahwa uang satu
dinar miliknya tertinggal. Akhirnya beliau kembali dan mendapati uang
dinar itu berada di tempatnya, akan tetapi uang itu dibiarkan saja dan
beliau meninggalkannya sambil berkata,”Mungkin uang dinar ini jatuh
dari orang lain, dan bukan dinarku.”
Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan Ar Quraifish dalam Ar Raudh Al
Faiq (hal. 215) bahwa Abu Hanifah menahan diri tidak memakan daging
kambing, setelah mendengar bahwa bahwa ada seekor kambing dicuri. Hal
itu dilakukan beliau beberapa tahun, sesuai dengan usia kehidupan
kambing pada umumnya.
Imam An Nawawi, sebagaimana disebutkan dalam biografi beliau yang
berjudul Al Minhaj As Sawi, oleh Imam Suyuthi, adalah ulama yang ama
berhati-hati terhadap makanan. Saat itu beliau enggan mengkonsumsi
buah-buahan dari Damaskus, dengan alasan bahwa banyak tanah waqaf dan
tanah yang dihajr (ditahan oleh hakim guna kemaslahatan). Dan dari
ribuan bidang tanah hanya, hanya satu saja yang boleh digunakan secara
syar’i. “Bagaimana hati saya bisa tenang (memakan buah-buahan)?” Jawab
beliau, setelah menjelaskan alasan, mengapa beliau menghindari memakan
buah dari Damaskus.
Demikian, usaha para salaf dan ulama agar terhindar dari makanan dan
harta haram serta subhat, karena jika hal-hal yang diharamkan Allah
sampai masuk ke dalam tubuh dan tumbuh menjadi daging, maka bisa
berakibat amat fatal. Oleh sebab itu, kesengsaraan bahkan kematian
lebih mereka cintai daripada harus mengkonsumsi makanan haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar